Apa
kau tahu bagaimana rasanya mencari jati diri sendiri? Apakah sebenarnya
dirimu ceria? Pendiam? Atau kah cuek? Ingatanku memutar kembali memory
tahun-tahun lalu. Aku pikir sudah tidak wajar saat aku mempertanyakan
seperti apa diriku sebenarnya. Disekitarku teman-teman, maupun
saudara-saudaraku memiliki ciri khas mereka masing-masing, mereka bisa
berkata mereka ceria, mereka cuek, mereka pendiam dan memang begitulah mereka. Tapi bagaimana dengan aku?
Terkadang aku menghabiskan waktuku hanya untuk berfikir. Aku berfikir
sebenarnya aku ini tipe orang seperti apa? Dikatakan pendiam tapi aku
merasa aku bukanlah seseorang yang pendiam. Dikatakan ceria, sikapku
sangat jauh dari kata ceria. Dikata cuek pun aku ini orang yang peduli
pada sekitar. Hingga hari berganti hari, tahun berganti tahun dan aku
sudah memakai rok abu-abu. Aku tetap tidak menemukan jawaban itu.
Aku memang sedang mencari jati diriku, aku memang sedang mencarinya.
Tapi bahkan di otakku pun aku tidak bisa menafsirkan sifat dan jati
diriku sebenarnya. Aku berusaha mengabaikan sekitarku, aku bertindak
sebagai sang penyendiri hanya karena aku iri pada mereka yang bisa
tertawa lebar ataupun berteriak-teriak dengan tidak memperdulikan
keadaan di sekitarnya.
Sesekali waktu itu kualihkan pandanganku
pada jendela, tidak ada pemandangan menarik hanya rerumputan hijau dan
dinding tinggi pembatas sekolah. Tapi aku masih bertahan padanya,
kembali memikirkan tentang diriku. Aku sebenarnya orang seperti apa?
Yang mana diriku yang sebenarnya? Bahkan hingga memasuki semester ke dua
aku tidak memiliki seorang temanpun.
Dan bahkan aku sama
sekali tidak pernah tersenyum untuk alasan apapun. Pikiranku kembali
memutar memory saat aku kecil, aku suka sekali acting, dan berkhayal.
Pikiran itu melintas kembali, andai ada seseorang yang dapat mengulurkan
tangannya padaku. Dan airmataku mulai menetes deras membasahi wajahku.
Andai... Andai.. Andai saja ada...
Aku mungkin bisa lebih baik...
Aku mungkin bisa menemukan apa yang kucari, kan?
Karena ada seseorang disampingku, aku tak perlu takut tidak ada yang menerima ketika aku mengetaui diriku...
Tapi semua itu hanya kaliman 'pengandaian'. Sesuatu yang nyata bahkan tak bisa menyentuh duniaku. Hingga hadirlah dia.
Dia yang mengatakan padaku untuk membuka mataku lebih lebar.
Dia yang mengatakan padaku untuk tidak terus memikirkan siapa aku.
Dia yang mengatakan aku adalah seseorang yang... cerewet.
Dan akhirnya duniaku terbuka, aku dapat tersenyum, aku dapat berbicara
dengan teman-teman sekolahku, aku mulai tidak mempertanyakan tentang
diriku, dan aku berubah menjadi seseorang yang ceria. Aku pernah
berharap ia adalah takdirku. Takdir tuhan untukku.
Bahwa dialah yang akan memelukku ketika bergetar.
Dialah yang akan memegang tanganku ketika gemetar.
Dan dialah yang akan menghapus airmataku ketika tergetar.
Aku mengharapkan segala hidupku ada padanya. Namuan ketika itu takdir
berkata lain padaku. Aku terlalu bahagia hingga kelewat batas. Aku
terlalu berlebihan untuk segala hal, obsesilah yang merasukiku. Hingga
ia mulai mengatakan satukalimat yang membuatku kembali pada masalalu...
Tolong, jadilah dirimu sendiri bukan karena aku.
Duniaku bagai dihempaskan oleh para penopangnya. Dan aku mulai kembali
perlahan dan mempertanyakan siapa aku sebenarnya. Bahkan semakin parah
aku mulai menangis, mulai mempertanyakan apa yang sudah kulakukan selama
ini? Menjadi siapa aku? Dan ia yang menjadi kunci mulai meninggalkan
sebuah pintu yang terbuka dalam duniaku.
Aku menatapnya, aku
menatapnya yang semakin menjauh. Dan terpaksa harus kurelakan semuanya
karena kesalahanku. Apa yang sudah kuperbuat ketika aku menemukan jati
diriku? Mengapa aku seperti seorang yang memiliki Obsesi untuk jati
diri?
Dan kujalani hariku seperti awal kulalui, sedikit berbeda
karena duniaku masih terbuka dengan tidak adanya kunci yang kembali
untuk menutupnya....
Obsesi © Kanon
I like this
BalasHapus