Selasa, 03 September 2013

Freak Girl // Cerbung Part I

Waktu itu aku sedang bercosplay menjadi Uchiha Sasuke (baca: Sasuke Uchiha) di sebuah acara khusus para Anime Lovers. Cukup banyak yang memintaku untuk berfoto bersama hingga seorang perempuan yang sebelumnya kupikir sedang Cosplay Sadako menghampiriku. Dia menatap tepat pada rambutku, dan aku cukup terkejut karena ia tidak memakai make up dan wajahnya pun lumayan manis, meskipun ada yang janggal dengan ekspresinya itu dan sepertinya ia tidak sedang bercosplay?

"Pantat ayaaam!" saat itu mataku melebar kaget mendengar apa yang ia ucapkan. Meskipun suaranya kecil dan nyaris tidak terdengar tapi aku tetap dapat mendengar ucapannya itu. Seolah-olah menyindirku, apa maksud ucapannya? Pikirku kesal.

Dia menurunkan pandangannya dari rambutku ke mataku dan tersenyum ceria, "Rambutmu mirip pantat ayamnya Sasuke!" ia mengucapkannya dengan antusiasme. Sedangkan aku hanya terdiam tidak tahu harus merespon apa. Di kepalaku sudah muncul sebuah pertayaan yang sebenarnya cukup jelas jawabannya, 'apa Sasuke mempunyai ayam?'.

"Hehe... maaf, aku pasti sudah menganggu ya?" dan aku hanya merespon dengan mengerutkan keningku, selanjutnya dia meninggalkanku begitu saja.

Menurutku itu adalah hari yang aneh, apalagi selama perempuan itu mengajakku berbincang (kalau bisa disebut demikian), tidak ada yang memintaku untuk berfoto bersama. Anehnya lagi perempuan itu sendiri tidak tampak antusias karena wajahku yang ehm lumayanlah, dan sama sekali tidak memintaku untuk berfoto bersama, malahan ia mendekatiku hanya untuk mengatakan rambutku mirip pantat ayam huh?

Hm? Kenapa jadi kupikirkan begini? pikirku saat itu dan perutku pun sudah mulai lapar, dan aku memutuskan untuk mencari makananan dulu. Aku berjalan menuju area penjualan makanan khas jepang, aku mengantri Okonomiyaki. Bosan menunggu aku menoleh kesana-kemari mencari pemandangan menarik. Dan lagi-lagi aku menemukan eksitensi perempuan tadi, ia sedang memesan Kakigori.

Dan semenjak hari itu pula aku memikirkannya. Aku tahu ini seperti bukan aku, memikirkan perempuan yang tidak jelas siapa dia. Setiap kali ada waktu luang dan melamun, perempuan itulah yang kulamunkan. Acara khusus para Anime Lovers itu bahkan sudah berlalu seminggu lalu. Aku bahkan tidak berani mengatakan apapun tentang pikiranku pada saudara kembarku maupun teman-temanku. Seminggu ini aku lebih sering melamun dan itu aneh menurut mereka.

Aku sudah bersiap dengan sebuah bola sepak ditanganku. Aku pun sedang menunggu saudara kembarku yang sedang menerima telpon dari kekasihnya. Aku bahkan mendengus geli mendengar ia mengucapkan sayang pada kekasihnya itu. Ternyata walau kembar kami berdua jauh berbeda.

Freak Girl © Kanon

Part 1 Fin (cerbung)

Feel // Cerpen

Pandangan mataku tetaplah tertuju pada sosok wanita modis yang sedang berias meskipun kami sedang berada di ruang makan. Tampaknya ia tak pernah mau melakukan sesuatu hal yang berguna untuk dirinya sendiri selain untuk penampilannya tentunya. Mungkin karena merasa kuperhatikan, ia balik menatapku dengan pandangan heran. Dan dengan berani pula kutatap tepat pada matanya yang memakai softlens abu-abu muda yang kuakui menambahkan nilai plus pada penampilannya.

Matanya mendelik tak suka ketika aku menatapnya berani. Namun aku tak peduli apapun reaksinya atas tindakanku. Aku kembali menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutku, mencoba untuk menghiraukan keberadaan wanita itu.

Namun gerak-gerik selanjutnya membuat hatiku teremas. "Aku pergi." ucapnya singkat, segera saja ia merapihkan peralatan make upnya dan menghilang dari ruangan. Aku menatap nanar pada sebuah piring kosong yang sengaja kusiapkan untuknya. Lagi-lagi ia tak menyentuhnya sama sekali. Baginya, sepenting apa sih kencannya dengan para pria yang berstatus gigolo itu?

Ya, wanita tadi adalah salah satu dari wanita-wanita yang haus akan jasa para gigolo. Dan sialnya wanita itu adalah ibuku, entah dari lelaki yang mana. Sial! Hidupku sangat sial!

Aku mulai berteriak nanar, untuk hidupku. Aku merasa seharusnya aku tak ada, seharusnya wanita itu musnah saja. Biarlah aku menjadi seorang yang sebatang kara, biarlah aku tak mengenal arti cinta dari pengharapan seorang anak pada ibunya.

Tapi, aku tetap mencoba bertahan disini. Meski sesungguhnya hidupku sudah hancur. Aku tetap bertahan ketika para tetangga dan teman-teman sekolahku memandangku rendah dan mencapku sebagai anak haram. Aku bahkan tetap bertahan saat aku diberi obat bius dan di perkosa oleh kakak kelasku di sekolah. Tapi aku mulai sering membolos, aku mulai sering mengurung diriku di kamar.

Sensasi yang mulai bergejolak di dalam perutku mulai membuatku merasa aneh. Rasa takut mulai hadir dalam diriku. Satu kata terlintas dan berputar-putar di kepalaku. Aku mulai meninggalkan ruang makan dan berlari menuju pintu. Disana wanita itu masih berdiri dengan telpon genggam di telinganya. Nafasku memburu akibat berlari, rasanya tubuhku lemas dan tak bertenaga.

"Boleh aku ikut?" ucapku begitu wanita itu menutup telponnya. Ia menatapku terkejut, sedikit tatapan khawatir kulihat saat keningnya berkerut. Untuk sesaat aku termenung. Dan wanita itu segera menggandeng tanganku yang entah mengapa sudah basah, sepertinya aku mulai berkeringat dingin.

Tadi, saat aku termenung memikirkan sebuah kata yang melintas dalam kepalaku, saat aku memutuskan sebuah hal bodoh, dan mulai berlari berniat mengejar seseorang, aku berfikir apa hidupku akan sama sepertinya?

Genggamannya yang hangat menjalar melalui tanganku. Aku sempat terdiam untuk menatap tangan kami yang terpaut. "Ibu..." dan langkahnya mulai terhenti, ketika aku mulai menyebut panggilan sakral setelah sekian lama. Namun sesuatu di dalam dadaku mulai terasa menyesakkan, mataku pun sudah tidak kuat untuk menahan bendungan air yang akhirnya merembes keluar. Wanita di hadapanku adalah ibuku, bagaimanapun aku tak menginginkannya tapi dia tetap ibuku, dia tidak membunuhku ketika aku masih dalam perutnya, dan satu hal yang kusadari saat ini bahwa sungguh aku tidak ingin kehilangannya. "Ibu..." lagi aku menyebut panggilan itu, hingga kulihat wajahnya yang ternyata sangat cantik itu terhiasi airmata.

Sebenarnya apa yang membuat ibu menjadi seperti ini?

Beginikah rasanya menjadi dirinya?

Sesakit inikah yang ia rasakan dulu?

"...aku hamil."

Feel ©Kanon

Obsesi // Cerpen

Apa kau tahu bagaimana rasanya mencari jati diri sendiri? Apakah sebenarnya dirimu ceria? Pendiam? Atau kah cuek? Ingatanku memutar kembali memory tahun-tahun lalu. Aku pikir sudah tidak wajar saat aku mempertanyakan seperti apa diriku sebenarnya. Disekitarku teman-teman, maupun saudara-saudaraku memiliki ciri khas mereka masing-masing, mereka bisa berkata mereka ceria, mereka cuek, mereka pendiam dan memang begitulah mereka. Tapi bagaimana dengan aku?

Terkadang aku menghabiskan waktuku hanya untuk berfikir. Aku berfikir sebenarnya aku ini tipe orang seperti apa? Dikatakan pendiam tapi aku merasa aku bukanlah seseorang yang pendiam. Dikatakan ceria, sikapku sangat jauh dari kata ceria. Dikata cuek pun aku ini orang yang peduli pada sekitar. Hingga hari berganti hari, tahun berganti tahun dan aku sudah memakai rok abu-abu. Aku tetap tidak menemukan jawaban itu.

Aku memang sedang mencari jati diriku, aku memang sedang mencarinya. Tapi bahkan di otakku pun aku tidak bisa menafsirkan sifat dan jati diriku sebenarnya. Aku berusaha mengabaikan sekitarku, aku bertindak sebagai sang penyendiri hanya karena aku iri pada mereka yang bisa tertawa lebar ataupun berteriak-teriak dengan tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya.

Sesekali waktu itu kualihkan pandanganku pada jendela, tidak ada pemandangan menarik hanya rerumputan hijau dan dinding tinggi pembatas sekolah. Tapi aku masih bertahan padanya, kembali memikirkan tentang diriku. Aku sebenarnya orang seperti apa? Yang mana diriku yang sebenarnya? Bahkan hingga memasuki semester ke dua aku tidak memiliki seorang temanpun.

Dan bahkan aku sama sekali tidak pernah tersenyum untuk alasan apapun. Pikiranku kembali memutar memory saat aku kecil, aku suka sekali acting, dan berkhayal. Pikiran itu melintas kembali, andai ada seseorang yang dapat mengulurkan tangannya padaku. Dan airmataku mulai menetes deras membasahi wajahku.

Andai... Andai.. Andai saja ada...

Aku mungkin bisa lebih baik...

Aku mungkin bisa menemukan apa yang kucari, kan?

Karena ada seseorang disampingku, aku tak perlu takut tidak ada yang menerima ketika aku mengetaui diriku...

Tapi semua itu hanya kaliman 'pengandaian'. Sesuatu yang nyata bahkan tak bisa menyentuh duniaku. Hingga hadirlah dia.

Dia yang mengatakan padaku untuk membuka mataku lebih lebar.

Dia yang mengatakan padaku untuk tidak terus memikirkan siapa aku.

Dia yang mengatakan aku adalah seseorang yang... cerewet.

Dan akhirnya duniaku terbuka, aku dapat tersenyum, aku dapat berbicara dengan teman-teman sekolahku, aku mulai tidak mempertanyakan tentang diriku, dan aku berubah menjadi seseorang yang ceria. Aku pernah berharap ia adalah takdirku. Takdir tuhan untukku.

Bahwa dialah yang akan memelukku ketika bergetar.

Dialah yang akan memegang tanganku ketika gemetar.

Dan dialah yang akan menghapus airmataku ketika tergetar.

Aku mengharapkan segala hidupku ada padanya. Namuan ketika itu takdir berkata lain padaku. Aku terlalu bahagia hingga kelewat batas. Aku terlalu berlebihan untuk segala hal, obsesilah yang merasukiku. Hingga ia mulai mengatakan satukalimat yang membuatku kembali pada masalalu...

Tolong, jadilah dirimu sendiri bukan karena aku.

Duniaku bagai dihempaskan oleh para penopangnya. Dan aku mulai kembali perlahan dan mempertanyakan siapa aku sebenarnya. Bahkan semakin parah aku mulai menangis, mulai mempertanyakan apa yang sudah kulakukan selama ini? Menjadi siapa aku? Dan ia yang menjadi kunci mulai meninggalkan sebuah pintu yang terbuka dalam duniaku.

Aku menatapnya, aku menatapnya yang semakin menjauh. Dan terpaksa harus kurelakan semuanya karena kesalahanku. Apa yang sudah kuperbuat ketika aku menemukan jati diriku? Mengapa aku seperti seorang yang memiliki Obsesi untuk jati diri?

Dan kujalani hariku seperti awal kulalui, sedikit berbeda karena duniaku masih terbuka dengan tidak adanya kunci yang kembali untuk menutupnya....

Obsesi © Kanon