Selasa, 03 September 2013

Feel // Cerpen

Pandangan mataku tetaplah tertuju pada sosok wanita modis yang sedang berias meskipun kami sedang berada di ruang makan. Tampaknya ia tak pernah mau melakukan sesuatu hal yang berguna untuk dirinya sendiri selain untuk penampilannya tentunya. Mungkin karena merasa kuperhatikan, ia balik menatapku dengan pandangan heran. Dan dengan berani pula kutatap tepat pada matanya yang memakai softlens abu-abu muda yang kuakui menambahkan nilai plus pada penampilannya.

Matanya mendelik tak suka ketika aku menatapnya berani. Namun aku tak peduli apapun reaksinya atas tindakanku. Aku kembali menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutku, mencoba untuk menghiraukan keberadaan wanita itu.

Namun gerak-gerik selanjutnya membuat hatiku teremas. "Aku pergi." ucapnya singkat, segera saja ia merapihkan peralatan make upnya dan menghilang dari ruangan. Aku menatap nanar pada sebuah piring kosong yang sengaja kusiapkan untuknya. Lagi-lagi ia tak menyentuhnya sama sekali. Baginya, sepenting apa sih kencannya dengan para pria yang berstatus gigolo itu?

Ya, wanita tadi adalah salah satu dari wanita-wanita yang haus akan jasa para gigolo. Dan sialnya wanita itu adalah ibuku, entah dari lelaki yang mana. Sial! Hidupku sangat sial!

Aku mulai berteriak nanar, untuk hidupku. Aku merasa seharusnya aku tak ada, seharusnya wanita itu musnah saja. Biarlah aku menjadi seorang yang sebatang kara, biarlah aku tak mengenal arti cinta dari pengharapan seorang anak pada ibunya.

Tapi, aku tetap mencoba bertahan disini. Meski sesungguhnya hidupku sudah hancur. Aku tetap bertahan ketika para tetangga dan teman-teman sekolahku memandangku rendah dan mencapku sebagai anak haram. Aku bahkan tetap bertahan saat aku diberi obat bius dan di perkosa oleh kakak kelasku di sekolah. Tapi aku mulai sering membolos, aku mulai sering mengurung diriku di kamar.

Sensasi yang mulai bergejolak di dalam perutku mulai membuatku merasa aneh. Rasa takut mulai hadir dalam diriku. Satu kata terlintas dan berputar-putar di kepalaku. Aku mulai meninggalkan ruang makan dan berlari menuju pintu. Disana wanita itu masih berdiri dengan telpon genggam di telinganya. Nafasku memburu akibat berlari, rasanya tubuhku lemas dan tak bertenaga.

"Boleh aku ikut?" ucapku begitu wanita itu menutup telponnya. Ia menatapku terkejut, sedikit tatapan khawatir kulihat saat keningnya berkerut. Untuk sesaat aku termenung. Dan wanita itu segera menggandeng tanganku yang entah mengapa sudah basah, sepertinya aku mulai berkeringat dingin.

Tadi, saat aku termenung memikirkan sebuah kata yang melintas dalam kepalaku, saat aku memutuskan sebuah hal bodoh, dan mulai berlari berniat mengejar seseorang, aku berfikir apa hidupku akan sama sepertinya?

Genggamannya yang hangat menjalar melalui tanganku. Aku sempat terdiam untuk menatap tangan kami yang terpaut. "Ibu..." dan langkahnya mulai terhenti, ketika aku mulai menyebut panggilan sakral setelah sekian lama. Namun sesuatu di dalam dadaku mulai terasa menyesakkan, mataku pun sudah tidak kuat untuk menahan bendungan air yang akhirnya merembes keluar. Wanita di hadapanku adalah ibuku, bagaimanapun aku tak menginginkannya tapi dia tetap ibuku, dia tidak membunuhku ketika aku masih dalam perutnya, dan satu hal yang kusadari saat ini bahwa sungguh aku tidak ingin kehilangannya. "Ibu..." lagi aku menyebut panggilan itu, hingga kulihat wajahnya yang ternyata sangat cantik itu terhiasi airmata.

Sebenarnya apa yang membuat ibu menjadi seperti ini?

Beginikah rasanya menjadi dirinya?

Sesakit inikah yang ia rasakan dulu?

"...aku hamil."

Feel ©Kanon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar