Pandangan
mataku tetaplah tertuju pada sosok wanita modis yang sedang berias
meskipun kami sedang berada di ruang makan. Tampaknya ia tak pernah mau
melakukan sesuatu hal yang berguna untuk dirinya sendiri selain untuk
penampilannya tentunya. Mungkin karena merasa kuperhatikan, ia balik
menatapku dengan pandangan heran. Dan dengan berani pula kutatap tepat
pada matanya yang memakai softlens abu-abu muda yang kuakui menambahkan nilai plus pada penampilannya.
Matanya mendelik tak suka ketika aku menatapnya berani. Namun aku tak
peduli apapun reaksinya atas tindakanku. Aku kembali menyuapkan sesendok
nasi ke dalam mulutku, mencoba untuk menghiraukan keberadaan wanita
itu.
Namun gerak-gerik selanjutnya membuat hatiku teremas. "Aku
pergi." ucapnya singkat, segera saja ia merapihkan peralatan make upnya
dan menghilang dari ruangan. Aku menatap nanar pada sebuah piring
kosong yang sengaja kusiapkan untuknya. Lagi-lagi ia tak menyentuhnya
sama sekali. Baginya, sepenting apa sih kencannya dengan para pria yang
berstatus gigolo itu?
Ya, wanita tadi adalah salah satu dari
wanita-wanita yang haus akan jasa para gigolo. Dan sialnya wanita itu
adalah ibuku, entah dari lelaki yang mana. Sial! Hidupku sangat sial!
Aku mulai berteriak nanar, untuk hidupku. Aku merasa seharusnya aku tak
ada, seharusnya wanita itu musnah saja. Biarlah aku menjadi seorang
yang sebatang kara, biarlah aku tak mengenal arti cinta dari pengharapan
seorang anak pada ibunya.
Tapi, aku tetap mencoba bertahan
disini. Meski sesungguhnya hidupku sudah hancur. Aku tetap bertahan
ketika para tetangga dan teman-teman sekolahku memandangku rendah dan
mencapku sebagai anak haram. Aku bahkan tetap bertahan saat aku diberi
obat bius dan di perkosa oleh kakak kelasku di sekolah. Tapi aku mulai
sering membolos, aku mulai sering mengurung diriku di kamar.
Sensasi yang mulai bergejolak di dalam perutku mulai membuatku merasa
aneh. Rasa takut mulai hadir dalam diriku. Satu kata terlintas dan
berputar-putar di kepalaku. Aku mulai meninggalkan ruang makan dan
berlari menuju pintu. Disana wanita itu masih berdiri dengan telpon
genggam di telinganya. Nafasku memburu akibat berlari, rasanya tubuhku
lemas dan tak bertenaga.
"Boleh aku ikut?" ucapku begitu wanita
itu menutup telponnya. Ia menatapku terkejut, sedikit tatapan khawatir
kulihat saat keningnya berkerut. Untuk sesaat aku termenung. Dan wanita
itu segera menggandeng tanganku yang entah mengapa sudah basah,
sepertinya aku mulai berkeringat dingin.
Tadi, saat aku
termenung memikirkan sebuah kata yang melintas dalam kepalaku, saat aku
memutuskan sebuah hal bodoh, dan mulai berlari berniat mengejar
seseorang, aku berfikir apa hidupku akan sama sepertinya?
Genggamannya yang hangat menjalar melalui tanganku. Aku sempat terdiam
untuk menatap tangan kami yang terpaut. "Ibu..." dan langkahnya mulai
terhenti, ketika aku mulai menyebut panggilan sakral setelah sekian
lama. Namun sesuatu di dalam dadaku mulai terasa menyesakkan, mataku pun
sudah tidak kuat untuk menahan bendungan air yang akhirnya merembes
keluar. Wanita di hadapanku adalah ibuku, bagaimanapun aku tak
menginginkannya tapi dia tetap ibuku, dia tidak membunuhku ketika aku
masih dalam perutnya, dan satu hal yang kusadari saat ini bahwa sungguh
aku tidak ingin kehilangannya. "Ibu..." lagi aku menyebut panggilan itu,
hingga kulihat wajahnya yang ternyata sangat cantik itu terhiasi
airmata.
Sebenarnya apa yang membuat ibu menjadi seperti ini?
Beginikah rasanya menjadi dirinya?
Sesakit inikah yang ia rasakan dulu?
"...aku hamil."
Feel ©Kanon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar